POJOK GIZI #10: "Perspektif Kafein dari Sisi Kesehatan"

Perspektif Kafein dari Sisi Kesehatan

Kopi adalah salah satu minuman yang biasanya sering dikonsumsi mahasiswa ketika mendekati tenggat pengumpulan tugas atau saat belajar untuk ujian. Kopi pertama kali ditemukan di Arabia pada abad ke-13 dan mulai diperkenalkan ke eropa pada abad ke-17. Kopi dipercaya dapat menahan kantuk karena mengandung senyawa kafein. Namun ternyata kafein bukan hanya ada di dalam kopi, tetapi juga pada makanan lain seperti teh dan coklat, serta minuman berenergi.
Kafein adalah senyawa alkaloid yang merupakan obat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagian besar kafein yang dikonsumsi oleh orang dewasa berasal dari kopi. Rata-rata dalam secangkir kopi terdapat sekitar 100 mg kafein, sedangkan pada teh sekitar 50 mg.

Metabolisme Kafein Pada Tubuh
Kafein dimetabolisme di dalam hati sebelum diekskresi oleh ginjal. Kafein dalam tubuh akan meningkatkan lipolisis dan aktivitas saraf simpatik, sehingga menyebabkan asam lemak bebas dalam darah naik dan mengakibatkan naiknya energi ekspenditur tubuh. Konsumsi kafein sebanyak 200 mg hingga 300 mg pada laki-laki dapat meningkatkan 7%-11% REE, sedangkan 200 mg-240 mg pada perempuan menyebabkan peningkatan 8%-15% REE (Compher et al, 2006). Dalam Acheson (2004), kafein diketahui dapat meningkatkan lipolisis dengan cara menginhibisi cyclic nucleotide phosphodiesterase, yang mana dapat mengkatalisasi konversi cAMP menjadi AMP. Hal tersebut mengakibatkan hormone-sensitive lipase inaktif dan lipolisis terinduksi. Lipolisis adalah proses perombakan lemak simpanan tubuh menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu asam lemak bebas. Karena efek tersebut, kafein dapat menjadi terapi bagi penderita obesitas untuk menurunkan simpanan lemak dalam tubuh.
Akan tetapi, kafein sering disalahgunakan oleh penderita eating disorders seperti anorexsia nervosa dan bulimia nervosa untuk meningkatkan metabolisme basal dan menekan konsumsi makanan. Sedangkan penderita anorexsia nervosa memiliki risiko tinggi terhadap arithmia dan akan berbahaya apabila mengonsumsi kafein yang dapan menstimulasi terjadinya arithmia (Winston, 2005).

Toleransi dan Efek Konsumsi Kafein
Dengan mempengaruhi sistem saraf pusat, kafein dapat menyebabkan badan tidak mudah merasa lelah, gelisah, takikardi, peningkatan tekanan darah gangguan pencernaan akibat meningkatnya sekresi asam lambung, insomnia,tremor, kewaspadaan meningkat, serta menimbulkan efek diuretik. Kafein dapat mengurangi penyerapan kembali kalsium di dalam ginjal, sehingga kalsium keluar bersama urin. Konsumsi kafein jangka panjang melebihi 500mg/hari dapat menyebabkan insomnia kronik, paranoia, depresi, dan gangguan lambung. Kafein dapat menyebabkan konstriksi pada bronkus dan pembuluh darah serebral yang mana dapat menghambat aliran darah ke otak, sehingga dalam jangka waktu lama akan timbul gejala sakit kepala (Harland, 2000). Sementara itu Mahan, dkk (2017), menyatakan bahwa batas konsumsi kafein per hari yang dianjurkan tidak lebih dari 300mg/hari.
Mahan (2017) juga mengatakan bahwa kafein dapat menstimulasi pelepasan hormon gastrin pada lambung yang mana dapat merangsang sekresi HCL dan pepsinogen, sehingga konsumsi kafein tidak direkomendasikan pada penderita penyakit lambung seperti gastritis, ulkus peptikum, GERD, dan lain sebagainya. Selain pernderita penyakit lambung, konsumsi kafein juga dibatasi untuk penderita penyakit-penyakit metabolik atau penyakit kronis seperti gagal ginjal kronis dan hipertensi. Karena efek yang ditimbulkan oleh kafein mirip dengan gejala hipoglikemia, maka penderita diabetes juga tidak dianjurkan mengonsumsi makanan dan minuman berkafein karena dikhawatirkan akan menimbulkan suatu tindakan yang fatal. Meski demikian, di dalam kopi dan teh juga terdapat berbagai jenis antioksidan seperti polifenol, yang mana dapat menangkal radikal bebas sehingga dapat menurunkan risiko penyakit degeneratif.
Para peneliti saat ini masih memperdebatkan efek kafein pada penderita penyakit jantung. Konsumsi kafein dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko gagal jantung karena adanya efek takikardi yang ditimbulkan. Akan tetapi, sebuah studi di Belanda menunjukkan bahwa konsumsi kopi atau teh secara teratur dan dalam jumlah sedang, dapat mengurangi risiko penyakit atherosklerosis kardiovaskuler dan mengurangi angka kematian penderita penyakit tersebut (de Konig Gans et al, 2010).

Kafein dan kehamilan
Efek kafein terhadap kehamilan masih menjadi perdebatan di kalanagan para ilmuwan. Akan tetapi, kebanyakan beranggapan bahwa ibu hamil dan menyusui tidak dianjurkan mengonsumsi kafein. Menurut Harland (2000), kafein, bahkan dalam jumlah kecil, dapat meningkatkan risiko BBLR dan aborsi spontan. Kafein dapat masuk melewati plasenta sehingga dapat masuk ke dalam fetus. Akan tetapi, hati janin belum cukup matang untuk memetabolisme kafein sehingga kadar kafein yang terkonsumsi oleh janin akan tetap tinggi dalam badan janin.

Kafein dalam olahraga
Para atlet sering mengonsumsi kafein untuk mendapatkan efek ergogenik seperti: peningkatan konsentrasi akibat pengaruh kafein terhadap sistem saraf pusat; mobilisasi lemak dan penghematan glikogen selama kegiatan; meningkatkan absorpsi dan oksidasi karbohidraat dalam usus; meningkatkan resintesis dari glikogen otot dalam proses pemulihan; serta mengurangi perasaan lelah dan sakit selama latihan. Kafein diklasifikasikan sebagai bagian dari suplemen makanan yang aman menurut Australian Institute of Sport Nutrition  (AIS) karena konsumsi kafein sebanyak 1-3 mg/ kg dapat meningkatkan performa atlet baik dalam dalam olahraga endurance (lebih dari 60 menit), olahraga intens (1-60 menit), maupun pada olahraga permainan yang membutuhkan keterampilan dan konsentrasi (AIS, 2014).
Kafein berkontribusi dalam memperkuat daya tahan karena kemampuannya meningkatkan mobilisasi asam lemak dan mempertahankan simpanan glikogen. Kafein juga berperan mempengaruhi kontraksi otot dengan memfasilitasi transport kalsium. Kafein juga dapat mengurang rasa lelah dengan mengurangi akumulasi kalium dalam plasma.

Konsumsi kafein memiliki efek yang signifikan dalam tubuh, baik itu efek yang menguntungkan maupun merugikan kesehatan. Mari jaga konsumsi makanan dan minuman kita tetap beragam, berimbang, dan tetap dalam batas wajar untuk meningkatkan kualitas hidup kita. Karena gizi bukan sekedar intervensi, tetapi juga investasi.

Referensi
Acheson, Kevin J, dkk. 2004. Metabolic effects of caffeine in humans: lipid oxidation or futile cycling?1–3. AJ Clin Nutr. Vol 79:40–6.
Australian Institute of Sport (AIS). 2014. Supplements: Executive Summary (website). http://www.ausport.gov.au/ais/nutrition/supplements. Accessed December 1, 2015.
Compher C, et al. 2015. A Patient With Parenteral Nutrition–Dependent Short Bowel Syndrome and Cardiovascular Disease With 4-Year Exposure to Teduglutide. Journal of Parenteral. 40:5.
De Koning Gans JM, et al. 2010. Tea and coffee consumption and cardiovascular morbidity and mortality. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 30:1665.
Harland, Barbara F. 2000. Caffeine and Nutrition. Nutrition. 16: 7-8.
Mahan, L. Kathleen , Janice L. Raymond. 2017. Krause’s Food & The Nutrition Care Process, Fourteenth Edition. Canada: Elsevier.
Messina et al. 2015. The Beneficial Effects of Coffee in Human Nutrition. Biol Med (Aligarh). 7:4.
Winston, Anthony P., Elizabeth Hardwick, dan Neema Jaberi. 2005. Neuropsychiatric effects of caffeine. Advances in Psychiatric Treatment. 11: 432–439.


Komentar