KAJIAN PENIADAAN UJI KOMPETENDI BAGI S1 ILMU GIZI


KAJIAN PENIADAAN UJI KOMPETENDI BAGI S1 ILMU GIZI

A.    Peraturan Mengenai Uji Kompetensi Bagi S1 Ilmu Gizi
UU RI Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga gizi merupakan salah satu tenaga kesehatan yang terdiri dari nutrisionis dan dietisien.
Pada Permenkes RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Uji Kompetensi Jabatan Fungsional Kesehatan Pasal 1 disebutkan bahwa Uji Kompetensi Jabatan Fungsional Kesehatan adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap  kerja pejabat fungsional kesehatan yang dilakukan oleh tim penguji dalam rangka memenuhi syarat kenaikan jenjang jabatan setingkat lebih tinggi.
Tujuan dari uji kompetensi adalah memberikan pengakuan atas kompetensi lulusan Nutrisionis/Sarjana Gizi. Pengakuan kompetensi harus didasarkan pada penguasaan lulusan terhadap kompetensi lulusan dan kompetensi kerja. Selain hal tersebut, uji kompetensi nasional dapat dijadikan sebagai bagian dari penjaminan mutu pendidikan. Uji kompetensi nasional adalah salah satu cara efektif untuk meningkatkan mutu proses dan lulusan pendidikan sesuai dengan standar kompetensi yang diterapkan. Dan uji kompetensi juga merupakan suatu langkah atau tahap bagi lulusan gizi untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) yang selanjutnya digunakan untuk mendapatkan Surat Ijin Kerja atau Surat Ijin Praktek (bagi profesi gizi/RD). Uji kompetensi dilaksanakan oleh Panitia Nasional yang disepakati oleh AIPGI dan PERSAGI yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama Nomor 001/SK/AIPGI/IV/2019 dan 3973/SK/DPP-PERSAGI/IV/2019.
Pada Pasal 44 ayat 2 dan 3 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa sertifikat kompetensi diberikan pada lulusan yang lulus uji kompetensi dan sertifikat kompetensi dapat digunakan sebagai syarat untuk memperoleh pekerjaan tertentu. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 21 dijelaskan bahwa mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan vokasi dan profesi harus mengikuti uji kompetensi secara nasional. Selanjutnya Permenristekdikti Nomor 12 Tahun 2016 Pasal 4 ayat 3 juga menyebutkan bahwa peserta Uji Kompetensi berasal dari mahasiswa yang telah menempuh pendidikan program vokasi dan program profesi. Meskipun demikian, pada Pemenkes Nomor 26 Tahun 2013 Pasal 4 disebutkan bahwa Tenaga Gizi Sarjana Terapan Gizi, dan Sarjana Gizi yang telah lulus uji kompetensi dan teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan merupakan tenaga gizi Nutrisionis egistered. Oleh karena itu, uji komptensi Nutrisionis/Sarjana Gizi dinilai perlu untuk dilakukan agar memenuhi kualifikasi sebagai tenaga gizi. Berdasarkan naskah akademik Uji Kompetensi Gizi Multi Strata (DIII, DIV, S1 dan Prefesi Gizi) tahun 2014 yang disepakai oleh organisasi profesi Gizi (PERSAGI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Gizi (AIPGI) telah diatur tentang kebijakan dan mekanisme pelaksanaan uji kompetensi.
B.     Tanggapan dari Pihak Jurusan Mengenai Peniadaan Uji Kompetensi bagi S1 Ilmu Gizi
Jika Dikti mengabulkan surat permintaan Kemenkes tersebut yang artinya membatalkan uji kompetensi ditiadakan untuk S.Gz, maka perlu dipikirkan bersama untuk menyiasati hal tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa uji kompetensi untuk nutrisionis ini sifatnya tidak wajib, sifatnya sukarela bagi lulusan S. Gz yang ingin. Lulusan S. Gz.yang nantinya akan bekerja sebagai ahli gizi di dinas kesehatan, puskesmas, rumah sakit wajib punya STR sehingga wajib mengikuti uji kompetensi. Jadi tanpa uji kompetensi bagi lulusan S. Gz ini maka ranah pekerjaannya akan berkurang, kecuali sudah yakin jadi pengusaha atau masuk food insdustry.
Hal medasar yang perlu diketahui bahwa negara adalah negara hukum, sehingga segala sesuatunya berlandaskan regulasi-regulasi yang ada. Pelaksanaan uji kompetensi ini juga didasarkan oleh regulasi regulasi pemerintah. Namun ilmu gizi belum mempunyai undang-undang kegizian sehingga di gizi masih terdapat regulasi yang tumpang tindih.
Pada hari Rabu tanggal 15 Juli 2020, pihak jurusan telah berdiskusi dengan Prof. Haris Junaedi salah satu Direktur Belmawa Kemndikbud, bahwa ada beberapa hal medasar yaitu sudah sejak 2016-2017 jurusan ilmu gizi senantiasa melakukan pendekatan dan audiensi kepada Ristekdikti yang sekarang telah menjadi Kemendikbud, terutama kaitannya dengan uji kompetensi. Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 disebutkan bahwa tenaga gizi (nutrisionis dan dietisien) merupakan salah satu tenaga kesehatan. Nutrisionis ini sebenarnya masih belum jelas apakah ada pada level 5, 6, 7, 8 atau 9 dan dalam peraturan lain nampak ada tumpang tindih beberapa regulasi yang kurang tepat. Sedangkan dietisien ini sudah jelas merupakan level 7 baik dari D4 ataupun S1 bisa dilanjutkan profesi 1 tahun,nanti akan mendapat gelar Dietisien.
Saat ini jumlah perguruan tinggi sudah 117 program studi Gizi. Jadi jika uji kompetensi gizi tiba-tiba dhentikan tanpa ada perubahan regulasi atau tanpa masa transisi terlebih dahulu. Akan ada kurang lebih tiga ribu mahasiswa gizi S1 (tahun lalu dua ribuan peserta) yang akan memiliki kesempatan terbatas dalam kerja karena baru ada kurang lebih 9 perguruan tinggi dengan jalur profesi.
Uji kompetensi menjadi penting karena STR merupakan salah satu syarat dapat bekerja. Dulu sebelum 2018, bagi lulusan sarjana gizi dan vokasi gizi tidak disyaratkan memiliki sertifikat Kompetensi untuk mendapat STR. Sejak 24 Oktober 2018, lulusan sarjana gizi dan vokasi gizi perlu mencantumkan sertifikat Kompentensi untuk mendapat STR. Kemudian dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2014 memang yang diwajibkan melakukan uji kompetensi adalah pendidikan vokasi dan profesi. Namun tidak ada larangan untuk pendidikan S1 melakukan uji kompetensi. Uji kompetensi ini juga penting untuk perguruan tinggi untuk standarisasi pembelajaran di perguruan tinggi.
Dari audiensi yang dilakukan AIPGI dan Persagi kepada Direktur Belmawa, Direktur Belmawa akan mendiskusikan dengan pimpinananya, Dirjen Dikti. Akan tetapi kemungkinan akan dikembalikan pada peraturan tertinggi, yaitu uji kompetensi hanya akan dilaksanakan oleh pendidkan vokasi dan profesi. Jadi kemungkinan uji kompetensi untuk lulusan S. Gz akan ditiadakan, namun hal ini masih berupa spekulasi. Dari organisasi-organisaisi Gizi Indonesia masih melakukan konsolidasi-konsolidasi. Semalam dilakukan konsolidasi dengan semua kaprodi Gizi seluruh Indonesia dan semua yang hadir semalam 100% mendukung uji kompetensi tetap dilaksanakan untuk lulusan S. Gz. Karena uji kompetensi ini untuk standarisasi, bahan evaluasi mahasiswa, dan syarat mahasiswa dapat bekerja, sehingga prodi pun dapat mengoreksi pendidikan di institusinya. Uji kompetensi memang tidak wajib tapi dirasa perlu.
Di UNSOED sendiri sudah ada planning dalam 2 atau 4 tahun ke depan sudah ada pendidikan profesi gizi. Beberapa dosen sedang dalam proses  mengikuti profesi, dimana minimal ada 5 dosen S2 RD. Secara persiapan UNSOED sudah lebih siap. Gizi pun sebenarnya arahnya sama seperti Kedokteran, Keperawatan, dan Farmasi bahwa sebelum dapat bekerja dilakukan pendidikan sarjana yang dilanjutkan pendidikan profesi, namun masih sulit (banyak prodi belum memenuhi syarat) dan terbatas yang membuka pendidikan profesi. Menyikapi surat edaran AIPGI pada dasarnya saat ini UNSOED tidak setuju uji kompetensi untuk S. Gz. ditiadakan, tapi UNSOED mendukung upaya-upaya baik perbaikan regulasi atau upaya-upaya menuju masa transisi. Sebelum pendidikan profesi banyak didirikan kami akan memperjuangkan masa depan lulusan kami. Untuk mengubah regulasi butuh proses panjang, karena regulasi yang diubah bukan hanya untuk pendidikan Gizi tetapi untuk semua pendidikan kesehatan. Selama masa transisi diharapkan uji kompetensi tetap dilakukan agar mendapat STR atau lulusan Gizi bisa mendapat STR secara cuma - cuma seperti tahun sebelumnya,. Jangka panjangnya kami akan mendukung regulasi pemerintah dan akan mempersiapkan pembukaan jalur profesi Dietisien di UNSOED.
Yang perlu dicermati yang diacu dalam surat Kemenkes hanya mengacu pada satu undang-undang, padahal ada regulasi lain. Selain itu kenapa pengaduan satu orang bisa dijadikan dasar Kemenkes membuat surat permohonan memberhentikan uji kompetensi S1 kepada Dikti. Sayangnya setelah ditelusuri sebenarnya yang  disampaikan oleh nama yang bersangkutan dalam suara tersebut adalah penulis keberatan dengan biaya yang timbul akibat proses pengurusan STR. Dia sama sekali tidak merasa keberatan dengan dilaksanakannya uji kompetensi bagi lulusan S.Gz.
UKOM                        : Rp500.000,00
Anggota PERSAGI    : Rp200.000,00
Sumpah profesi           : Rp300.000,00
Membayar STR           : Rp100.000,00- Rp200.000,00
Dari AIPGI maupun organisasi  Profesi saat ini sedang berusaha melakukan upaya damai melalui lobi-lobi dan dalam waktu dekat akan melakukan audiensi dengan Dirjen Dikti terkait surat permohonan tersebut. Sampai sekarang belum ada respon resmi dari Dikti. Jika melalui jalan damai tersebut tidak berhasil maka akan dilakukan perjuangan lain, yang sangat membutuhkan partisipasi dalam berbagai pihak. Ibaratnya saja kalau pengaduan satu orang tadi bisa dijadikan dasar bagi Kemenkes untuk menyurati Dikti,bisa dibayangkan jika ada ribuan lulusan yang mengadu tidak mendapat STR karena penghapusan uji kompetensi maka seharusnya ada respon yang lebih dari Kemenkes. Jadi jalan juang terakhir yang dapat kita lakukan mungkin bisa turun ke jalan , melakukan aksi simpatik, dan sebagainya.
C.    Sikap yang Diambil Mengenai Peniadaan Uji Kompetensi bagi S1 Ilmu Gizi
Menyikapi surat edaran Kepala BPPSDMK Kemenkes RI pada dasarnya saat ini UNSOED tidak setuju Uji Kompetensi untuk S. Gz. ditiadakan, tapi UNSOED mendukung upaya-upaya baik perbaikan regulasi atau upaya-upaya menuju masa transisi. Hal ini dikarenakan :
1.        Untuk saat ini belum ada sistem yang mengatur dengan jelas bila tidak ada uji kompetensi. Kecuali jika memang sudah ada sistem yang jelas. Karena uji kompetensi ini jelas untuk mengetahui kulaifikasi lulusan S. Gz. sendiri.
2.        Pada UU No 36 Tahun 2014 menyatakan bahwa uji kompetensi diadakan untuk vokasi dan profesi. Namun dalam UU tersebut tidak ada larangan untuk sarjana gizi untuk melaksanakan uji kompetensi.
3.        Kebijakan tersebut tidak mempertimbangan mengenai kuantitas dan kualitas pendidikan profesi gizi yang masih minim. Baik institusi dan kemenkes belum siap.
4.        Seharusnya diterapkannya peraturan tersebut harus sejalan dengan realisasinya. Perguruan tinggi yang membuka prodi Pendidikan Profesi Dietisien yaitu sebanyak 9 perguruan tinggi, sedangkan terdapat 117 perguruan tinggi yang membuka prodi  ilmu gizi. Hal ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi yang membuka profesi dietisien masih terbilang cukup sedikit sehingga yang dapat mengikuti pendidikan profesi terbatas yang mengakibatkan sebagian mahasiswa harus menunggu terlebih dahulu dan mengakibatkan lebih lama mendapatkan kerja.
5.        Biaya untuk menempuh jenjang pendidikan profesi yang terbilang cukup mahal.
Solusi jangka pendek (tahun 2020-2021) yang dapat diambil agar lulusan S.Gz (nutritionis) dapat bekerja sebagai tenaga kesehatan yang harus memiliki STR yaitu uji kompetensi tetap boleh diadakan untuk sarjana gizi yang ingin melanjutkan karir di tempat kerja yang mensyaratkan STR, dan mempersiapkan kuantitas dan kualitas program pendidikan profesi. Solusi jangka menengah (tahun 2022-2025) yang bisa dilakukan yaitu membuka profesi sebanyak mungkin bagi universitas yang belum memiliki program profesi. Dan solusi jangka panjang yang bisa dilakukan yaitu  jika semua sistem sudah berjalan baik mungkin bisa menggabungkan profesi. Seperti yang ada pada program kedokteran, keperawatan, dan farmasi. Ditambah perlunya regulasi dan sistem yang jelas mengenai hal ini agar semua mahasiswa dapat mengikuti uji kompetensi kedepannya.
Berdasarkan kuisioner yang diisi sebanyak 98 responden, sebanyak 64.9% setuju apabila di masa akan datang dalam jangka menengah dan panjang, status nutrisionis adalah profesi level 7 KKNI sehingga setelah S.Gz perlu pendidikan profesi nutrisionis dan uji kompetensi nutrisionis, sedangkan sebanyak 35.1% tidak setuju mengenai peraturan tersebut. Setuju dengan catatan jika jumlah universitas yang membuka jalur profesi ditambah. Atau sistem pendidikannya seperti di luar negeri pendidikan gizinya itu 5 tahun sudah digabung 1 paket antara S1 dan profesi atau dietisien.
Hasil kuisioner sebanyak 79.4%  setuju jika di masa yang akan datang Sistem Pendidikan Nutrisionis dan Dietisien perlu disempurnakan menjadi satu paket dalam satu prodi, yaitu 4 tahun Pendidikan Sarjana Nutrisionis dan berlanjut dengan 1 tahun Pendidikan Profesi Dietisien. Sedangkan sebanyak 20.6% tidak setuju mengenai peraturan tersebut. Setuju dengan catatan :
1.         Pendidikan profesi sudah memadai baik jumlahnya serta biaya yang terjangkau.
2.         Kuantitas dan kualitas pendidikan profesi sudah dipersiapkan sesuai dengan jumlah lulusan S1 gizi.
3.         Dengan diimbangi jumlah universitas yang mengadakan dan jumlah lulusan S1



Komentar

  1. ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000 :d
    dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
    segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q :-* (f) (f) (f)

    BalasHapus

Posting Komentar