POJOK GIZI #7: "Gluten dan Kasein pada Autis"

Gluten dan Kasein pada Autis
Oleh Anne Rufaida


Autisme merupakan gangguan perkembangan yang terjadi pada masa anak-anak yang membuat sesorang tidak mampu berinteraksi sosial, mengalami ganguan komunikasi, gangguan perilaku dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri: berbicara, tertawa, menangis dan marah-marah sendiri (Prasetyono,2008). Kegagalan dalam hubungan sosial dapat berupa sikap yang sama sekali tidak mempedulikan orang lain, sikap ingin bereaksi tapi tidak memulainya, atau dapat berupa sikap interaktif dengan orang lain namun ditunjukkan dengan cara yang aneh, tidak biasa atau diulang-ulang (Kessick, 2009).
Di Inggris pada tahun 2003 perbandingan antara anak normal dan autisme 1:100. Pada beberapa daerah di Amerika angka ini bisa mencapai satu diantara 100 penduduk. Angka sebesar ini dapat dikatakan sebagai “wabah”, sehingga di Amerika autisme telah dinyatakan sebagai national alarming. Berdasarkan data dari Departemen Pendidikan Amerika bahwa angka peningkatan anak autisme di Amerika cukup mengerikan, yaitu sebesar 10% sampai 17% pertahun. Jumlah anak autisme di Amerika saat ini sebanyak 1,5 juta orang anak. Pada dekade berikut diperkirakan akan terdapat sekitar empat juta anak autisme di Amerika (Sutadi, 2003).
Yayasan Autisme Indonesia (2016) menyatakan adanya peningkatan prevalensi autisme, dimana sepuluh tahun yang lalu jumlah anak autisme di Indonesia diperkirakan 1 : 5000 anak, sekarang meningkat menjadi 1 : 500 anak. Tahun 2015 diperkirakan satu per 250 anak. Tahun 2015 diperkirakan terdapat kurang lebih 140.000 penyandang spektrum Autis di Indonesia. Di Sumatera Barat, jumlah penderita autis berdasarkan data dari Badan Penelitian Statistik (BPS) sejak 2010 hingga 2015, terdapat sekitar 140.000 anak usia dibawah usia 17 tahun menyandang autism. Di Kota Padang telah tersebar di Sekolah Luar Biasa dengan jumlah siswa Autis sekitar 283 siswa (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, 2016).
Penyebab autis belum diketahui secara pasti, namun kemungkinan ada keterlibatan faktor-faktor psikologi, phisiologi dan sosiologi. Pada umumnya belum sepenuhnya para ahli dapat menerima bahwa autis disebabkan fungsi dan struktur otak yang abnormal. Berbagai hal yang bisa menghambat pembentukan sel otak janin seperti virus rubella, toxoplasma,herpes, jamur (candida), oksigenasi (pendarahan) atau keracunan makanan. Selain ganguan tersebut, ternyata faktor genetik juga bisa menyebabkan autis. Ada gen tertentu yang mengakibatkan kerusakan khas pada sistem limbic atau pusat emosi di jaringan otak (Suryana, 2004).

Dampak Gluten dan Casein pada anak autis
Gluten adalah protein yang berasal dari tumbuh-tumbuhan misalnya terigu, oat dan barley. Sedangkan Kasein adalah protein yang berasal dari susu sapi. Gluten dan kasein tidak diperbolehkan untuk anak autis karena gluten dan kasein termasuk jenis protein yang sulit dicerna.
Enzim pencernaan pada anak autis sangat kurang, sehingga membuat makanan yang mengadung gluten dan kasein tidak sempurna. Idealnya pada anak yang normal, protein yang dikonsumsi akan dipecah menjadi asam amino sehingga dapat dipergunakan oleh tubuh melaui mekanisme/ jalur metabolism. Namun pada anak autis, karena protein tidak tercerna dengan sempurna, akibatnya akan terjadi rangkaian protein rantai pendek yang hanya terdiri dari dua asam amino yang disebut peptid.
Peptid ini diserap kembali dalam darah dan dibawa ke otak. Di jaringan otak, peptid akan berubah menjadi morfin yang disebut caseomorfin dan gluteomorfin yang 100 kali lebih jahat dari morfin biasa. Oleh karena sifatnya yang dapat mempengaruhi fungsi susunan syaraf pusat.
Karena itulah kedua jenis bahan tersebut harus benar-benar dihindari. Selain dapat menimbulkan keluhan diare, juga dapat meningkatkan hiperaktifitas yang bukan hanya berupa gerakan tetapi juga emosi, seperti marah-marah, mengamuk atau mengalami gangguan tidur.
Pada umumnya begitu anak dinyatakan autis, dokter akan menyarankan untuk memperhatikan makanannya yaitu harus bebas gluten dan kasein. Namun para ahli sering lupa terkadang ibu-ibu tidak tahu makanan apa saja yang bebas gluten dan bebas kasein. Sehingga akhirnya tidak sedikit orang tua yang mengalami kebingungan dalam memilihkan bahan makanan untuk anak mereka yang mengalami autis. Akibatnya anak malah tidak diperbolehlan makan apa-apa sehingga anak berpotensi menjadi terserang penyakit atau mengalami gizi kurang.

Mengatasi Perilaku Hiperaktif Anak Autis dari aspek makanan
Salah satu tindakan/usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi perilaku hiperaktif pada anak penyandang autis adalah dengan pengaturan makanannya. Makanan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan bagi penderita autis. Makanan anak pada umumnya sama dengan anak normal lainnya, yaitu sehat dan memenuhi gizi seimbang. Atau dengan kata lain terpenuhi dari segi energi sebagai zar tenaga (karbohindrat dan lemak), sumber zat pembangun (protein) dan sumber zat pengatur (berbagai vitamin dan mineral). Hanya saja yang perlu mendapat perhatian khusus adalah dalam pemilihan jenis bahan makanannya.
Bahan makanan yang tidak boleh diberikan hendaknya diupayakan mencarikan penggantinya dengan bahan makanan lain tanpa harus mengurangi kandungan zat gizinya. Pedoman pengaturan makanan pada anak autis, meliputi:
1.      Makanan seimbang, untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua zat gizi yang dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel yang rusak dan kegiatan sehari-hari.
2.      Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten.
3.      Makanan sumber protein dipilih yang tidak mengandung casein.
4.      Untuk memasak menggunakan minyak sayur, minyak jagung, minyak kacang tanah, minyak olive, dan lain-lain.
5.      Cukup mengkonsumsi serat yang berasal dari sayuran dan buah-buahan, satu hari 3 sampai 5 porsi.
6.      Memilih makanan yang tidak menggunakan food additive.
7.      Bila anak alergi atau intoleran terhadap makanan tertentu, hindari makanan tersebut.
8.      Pertimbangkan pemberian suplemen vitamin dan mineral.
9.      Biasakan membaca label makanan.
10.  Makanan cukup bervariasi, dan hindari Junk food.
Karena autisme merupakan gangguan yang kompleks, maka konsumsi makan harus diperhatikan misalnya dengan pengaturan diet. Pengaturan diet yang disarankan oleh para ahli adalah diet bebas kasein bebas gluten (CFGF). Pelaksanaan diet CFGF harus dengan pengawasan dokter dan ahli gizi. Diet ini diberikan secara bertahap agar tidak menimbulkan penolakan pada anak, yang dibutuhkan adalah kedisiplinan dalam melaksanakan diet tersebut agar diperoleh hasil yang maksimal. Perlu diperhatikan bahwa manfaat satu terapi pada anak autis tidak sama pada anak autis yang lain.
Walaupun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang signifikan terkait penerapan diet bebas gluten bebas kasein dengan perbaikan perilaku pada anak dengan ASD, namun ada beberapa penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak signifikan secara statistik. Salah satunya penelitian secara Randomized Clinical Trial (RCT) terkait diet GFCF yang pernah dilakukan Elder dan rekannya (2006) terhadap 15 anak yang didiagnosis autisme tidak menunjukkan hasil uji statistik yang signifikan, meskipun beberapa orang tua mereka melaporkan adanya perbaikan perilaku.Perbedaan hasil setiap penelitian bergantung oleh berbagai faktor diantaranya besarnya sampel, metode yang digunakan, serta kontrol yang ketat terhadap proses penelitian.

Referensi
Dewanti, H.W. 2014. Pengaruh Diet Bebas Gluten dan Kasein Terhadap Perkembangan Anak Autis di SLB Khusus Autistik Fajar Nugraha Sleman, Yogjakarta. Yogjakarta: JKKI. Vol.6, No.2.
Kessick, R. 2009. Autisme dan Pola Makan Yang Penting Untuk Anda Ketahui. Penerjemah Savitri, I.D. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Prasetyono. 2008. Serba-Serbi Anak Autis. Jogjakarta: DIVA press.
Suryana, A. 2004. Terapi autisme, anak berbakat dan anak hiperaktif. Jakarta: Progres Jakarta.
Sutadi, Sri M.,2003. Sirosis Hepatis. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.Sumatra Utara.h: 1-6.

Yayasan Autisme Indonesia, 2016, Autisme di Indonesia, [online], (http://http://autisme.or.id, diakses tanggal 17 Oktober 2016 )

Komentar