Obat
dapat mengatasi dan menyembuhkan berbagai macam masalah kesehatan dengan mekanisme
tertentu, meskipun harus diketahui secara tepat pemakaiannya, untuk menjamin keamanan
dan efektivitasnya. Secara garis besar perjalanan obat untuk dapat menimbulkan efek
yang diinginkan terdiri dari proses Adsorpsi, Distribusi, Metabolisme, hingga Ekskresi.
Penerimaan tiap orang terhadap obat tertentu memiliki perbedaan efektivitas
yang dipengaruhi oleh kondisi konsumen obat sendiri, seperti profil lipid,
ekspresi genetic tubuh, kadar albumin, status gizi, dan lain sebagainya.
Di
sisi lain, asupan makan sebagai faktor eksternal juga memiliki pengaruh besar terhadap
obat-obat tertentu. Makanan dapat mempengaruhi metabolism obat, begitu pula
sebaliknya. Hal ini berkaitan dengan interaksi antara zat-zat gizi dan senyawa
yang terkandung dalam makanan dengan senyawa yang terkandung dalam obat. Berikut
beberapa contoh interaksi obat dan makanan.
a. Obat-obatan anti-osteoporosis
seperti Fosamax atau Actonel akan menurun efeknya hingga 60% jika diminum bersama
dengan kopi atau jus jeruk.
b. Obat asma (golongan teofilin)
dapat menurun efeknya ketika dikonsumsi bersama dengan makanan tinggi protein
seperti daging sapi, telur, dan lain sebagainya. Sedangkan asupan kafein dapat meningkatkan
efek obat asma.
c. Aspirin yang berperan sebagai antikoagulan
dapat menurunkan pengambilan vitamin C oleh leukosit dan meningkatkan kehilangan
urin, menurunkan kadar zat besi, asam folat, natrium, kalium dalam sistemik,
terutama jika diberikan dalam jangka waktu yang lama dan dosis tinggi. Maka perlu
diperhatikan konsumsi zat gizi dalam makanan selama pemakaian aspirin sebagai terapi
medis sehingga tidak menimbulkan defisiensi zat gizi atau penurunan status
gizi.
d. Siproflaksasin dan tetrasiklin
yang berperan sebagai antibiotik (antibakteri) dapat bereaksi membentuk suatu kompleks
atau khelat dengan mineral-mineral seperti Mg2+, Ca2+, Fe2+.
Mineral-mineral tersebut banyak terdapat dalam susu dan produk olahannya. Ikatan
yang terbentuk tidak dapat larut sehingga obat tidak dapat dimetabolisme dan memberikan
efek yang diharapkan.
e. Grapefruit atau buah sejenis jeruk
bali yang dapat menghambat metabolism banyak obat dengan cara menginaktivasi enzim
metabolism pada usus, sehingga menyebabkan kadar obat dalam darat tetap tinggi.
Hal ini mengakibatkan risiko terjadinya keracunan obat.
f. Konsumsi obat MAOI, yaitu sejenis
obat antidepressant, dapat menghambat
pemecahan tiramin dalam tubuh, sehingga apabila konsumsi obat ini disertai dengan
asupan diet tinggi tiramin seperti keju, daging awetan, kecap, dapat menyebabkan
krisis hipertensi.
Beberapa contoh di atas hanya sebagian kecil dari interaksi
obat dan makanan. Oleh karena itu diperlukan koordinasi lebih lanjut antara masing-masing
petugas kesehatan agar untuk meminimalisir interaksi obat dan makanan, yang
mana dapat memperlambat proses medikasi. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui
efek, dosis, metabolisme, dan kontra-indikasi dari obat yang akan kita konsumsi.
Jadikanlah makananmu sebagai obat, bukan obat sebagai makananmu. (BK)
Referensi:
Boullata, Joseph I., dkk. Handbook
of Drug–Nutrient Interactions.
New Jersey: Humana Press.
Handayani, Dian, dkk. 2015. Nutrition Care Process. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Hardinsyah, dkk. 2017. Ilmu Gizi, Teori & Aplikasi.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Helmayati, Siti, dkk. 2016. Buku Saku Interaksi Obat dan Makanan.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Komentar
Posting Komentar